DILEMA PRODUKSI DAN PENINGKATAN PENDAPATAN
Oleh: Arif Sujoko*)
Satu atau dua bulan yang lalu, salah seorang teman memberikan informasi bahwa pembudidaya lele di Boyolali sedang mengalami kerisauan karena harga lele yang terjun bebas. Saat itu saya belum yakin akan kebenaran beritanya, bukan tidak percaya pada kejujuran teman saya, tetapi yang saya ragukan adalah kebenaran informasi yang diterimanya, hal yang wajar karena saya tidak menemukan sedikitpun pemberitaan tentang kejadian itu dari media massa terlebih lagi informasi resmi dari pemerintah.
Akhirnya, saya baru benar – benar yakin akan kebenaran informasi itu ketika pertengahan Juli 2010, saya mendapat konfirmasi dari salah seorang staf di Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah ketika berkesempatan untuk mampir ke sana. Bahkan tidak hanya di Boyolali saja, kabar turunnya harga lele juga saya peroleh dari seorang pembudidaya di Trenggalek dalam suatu perbincangan pada pertengahan Agustus 2010.
Kasus jatuhnya harga lele ini mengingatkan saya pada kasus serupa, yaitu hilangnya kegairahan budidaya patin di Jambi karena penurunan harga jualnya sebagaimana diberitakan Kompas 17 Februari 2010 dengan judul “Keemasan Patin Jambi Cerita Lalu”.
Kasus patin jambi ini memberikan pelajaran bahwa untuk produk yang digadang – gadang sebagai komoditas andalan ekspor, kelebihan produksi di dalam negeri tidak mampu ditransfer ke luar negeri dan tidak laku juga dijual di dalam negeri, lantas bagaimana konsekuensi yang harus ditanggung pembudidaya akibat kelebihan produksi lele yang memang hanya untuk pasar domestik ini?.
Baik kasus patin Jambi maupun lele Boyolali sangat mungkin akan berulang di banyak lokasi lain khususnya pada komoditas air tawar, mengingat visi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mewujudkan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar di dunia, mengharuskan perikanan budidaya dipacu kenaikan produksinya hingga 353 persen dalam waktu 5 tahun dan hal ini salah satunya diterjemahkan dengan kenaikan produksi budidaya lele hingga 450 persen pada tahun 2014 dibanding produksi tahun 2009 yang mencapai 200.000 ton (Kompas edisi 8 Januari 2010).
Sambil menunggu KKP memberikan ulasan terhadap kedua kasus ini dan menawarkan strategi – strategi penanganannya apabila kasus serupa terjadi lagi di tempat dan waktu yang berbeda, ada baiknya kita mencoba memberikan pandangan alternatif yang mungkin bisa dilakukan oleh pemerintah sehingga tidak membiarkan pembudidaya mengalami kasus serupa justru ketika produksinya terus meningkat.
Karakteristik Mikroekonomi Produk Budidaya Ikan Air Tawar
Memacu produksi ikan air tawar untuk mencapai target pembangunan di tingkat masyarakat sangat memungkinkan karena negara ini memiliki keunggulan komparatif dalam bentuk lahan dan air yang berkualitas.
Selain itu, teknologi budidaya air tawar pada umumnya sudah sangat dikuasai dan skala usaha bisa dibuat ”merakyat” apalagi jika pemerintah menggelontorkan sekian banyak program ”subsidi” dan pelaksanaannya ”tepat sasaran” maka peningkatan produksi oleh masyarakat relatif mudah direalisasi. (Kata ”subsidi” dan ”tepat sasaran” sengaja saya tulis dalam tanda kutip, agar niat baik dari program ini tidak menabrak banyak hal sebagaimana diulas dalam artikel: Tinjauan Ekonomi Subsidi Benih Ikan, Khayalan Subsidi Benih Ikan, dan Studi Peraturan Subsidi Benih Ikan) .
Tetapi setelah target produksi tercapai apakah kita harus berhenti dan merasa sudah berprestasi? Tentu saja tidak karena ikan yang dihasilkan tersebut masih harus terserap oleh konsumen. Dari sini mulai terlihat masalah ekonominya, yaitu bagaimana karakteristik pasar menyerap produk ikan air tawar?.
Keberhasilan pembangunan oleh pemerintah terlihat dari meningkatnya pendapatan dan daya beli masyarakat. Peningkatan pendapatan masyarakat ini akan digunakan untuk peningkatan konsumsi meliputi produk pangan (termasuk ikan) dan non pangan (pakaian, rumah, hiburan dan sebagainya).
Tetapi, kendala dalam konsumsi pangan sebagaimana diulas oleh sebagian ekonom adalah bahwa kenaikan tingkat konsumsinya berjalan lebih lambat daripada kenaikan pendapatan masyarakat, hal ini berlaku untuk bahan pangan pokok yang dikonsumsi tiap hari, lantas bagaimana dengan ikan air tawar yang secara umum tidak dikonsumsi tiap hari bahkan masih harus bersaing dengan produk perikanan laut/ payau dan produk pertanian/ peternakan lainnya? Tentu pertambahan tingkat konsumsi akan lebih lambat daripada kenaikan pendapatan dan daya beli masyarakat.
Terjadinya peningkatan produksi ikan air tawar yang besar namun hanya diimbangi dengan peningkatan konsumsi yang kurang signifikan, akan mengakibatkan harga ikan air tawar langsung masuk ke dalam hukum permintaan dan penawaran dan memiliki kecenderungan untuk terus menurun. Dari sisi pemasaranpun komoditas ikan air tawar juga susah untuk keluar dari jebakan komoditas karena sifat produknya adalah seperti yang dikatakan Theodore Levitt, yaitu generic product.
Alternatif Solusi
Kondisi di atas semestinya menjadi perhatian pemerintah dalam program peningkatan produksi ikan air tawar, tidak semata melihat sisi produksi, tetapi juga mengusahakan pendapatan yang memadai bagi pembudidaya. Karena tidak akan ada artinya apabila melimpahnya produksi tersebut justru menjadi pintu pembuka keruntuhan usaha budidaya air tawar itu sendiri.
Sudah seharusnya, KKP mempersiapkan kebijakan untuk mengantisipasi terjadinya kasus serupa. Mengandalkan kata manis ”ekspor” setiap kelebihan produksi tidak bisa lagi menjadi senjata, fakta patin Jambi sebagaimana diberitakan harian Kompas di atas menjadi bukti nyata, apalagi lele yang di sebagian wilayah kita – Batam, misalnya – babak belur menahan serbuan impor dari Malaysia.
Melihat karakteristik mikroekonomi di atas, kebijakan peningkatan produksi ikan air tawar harus mampu menjamin pendapatan yang layak bagi pembudidaya. Hal ini bisa dilakukan dengan menjaga total produksi pada jumlah tertentu yang masih memberikan pendapatan yang memadai bagi pembudidaya tetapi tidak memberatkan masyarakat. Kebijakan seperti ini dikenal sebagai kebijakan pembatasan produksi atau penentuan kuota produksi.
Tetapi, kebijakan penentuan kuota produksi ini seyogyanya hanya bersifat sementara selama kelebihan produksi belum mampu diserap pasar luar negeri, karena kalau tidak hati – hati dan tidak dikendalikan oleh pejabat yang berintegritas tinggi, kebijakan kuota produksi ini sangat mudah diselewengkan menjadi perilaku kartel yang memberatkan dan menyengsarakan masyarakat.
Sifat sementara ini juga merupakan lawan dari penerapan jangka panjang, karena dampak negatifnya adalah semacam proteksi terhadap usaha yang sudah ada sehingga masyarakat lain sulit untuk ikut mendirikan unit usaha budidaya yang baru. Hal ini, tentu sangat merugikan dalam jangka panjang, karena keunggulan komparatif kita tidak termanfaatkan secara optimal dan harga yang terbentuk bukan harga pasar tetapi harga yang sedikit ”berbau” proteksi.
Solusi jangka panjang tetaplah harus menggarap pasar ekspor, kebijakan ekspor hanya akan efektif apabila didukung dengan fundamental ekonomi perikanan budidaya yang kuat, khususnya efisiensi biaya dalam kerangka kemandirian ekonomi. Faktor biaya produksi yang tinggi menjadikan produk budidaya kita mengalami kesulitan menembus pasar ekspor, dan tingginya biaya ini hampir selalu disebabkan oleh biaya pakan, padahal dalam rangka kemandirian ekonomi, pakan ikan merupakan kebutuhan vital yang tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah.
Mengenai hal ini, sebenarnya Menteri Kelautan dan Perikanan juga sudah mengenali bahwa ketergantungan impor bahan baku pakan ikan superberat akibat produksi hanya dilakukan oleh segelintir perusahaan saja (www.kapanlagi.com), yang belum dikenali oleh pemerintah rasanya adalah apakah segelintir perusahaan yang dimaksud Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut berkompetisi dalam pasar persaingan sempurna atau memilih sengaja untuk tidak berkompetisi melalui trik – trik pemusatan kekuatan ekonomi tertentu sesama mereka dengan tujuan memaksimalkan keuntungan?
Tata Niaga dan Pembentukan Harga
Hal yang tidak kalah hebatnya dalam pembentukan harga ikan adalah perilaku rantai tata niaganya. Dari diskusi dengan seorang pelaku bisnis tata niaga produk budidaya, secara umum tata niaga lele hanya melalui 2 rantai utama yaitu “tengkulak” dan “distributor grosir”. Karakteristik dari dua rantai ini tidak pernah menyimpan lele sebagai stok melebihi satu hari, artinya lele yang masuk ke mereka hampir tidak pernah disimpan tetapi langsung disalurkan ke seluruh customer.
Apa relevansinya hal ini dengan kasus jatuhnya harga lele Boyolali? Sebelum memberikan analisis atau lebih pasnya tafsiran yang berisiko salah – karena tidak diperolehnya kejelasan informasi atas kasus lele Boyolali –, jatuhnya harga lele Boyolali tidak diikuti dengan gagalnya pasar menyerap lele yang sudah murah meriah ini (kalau hal ini yang terjadi model analisis mikroekonomi di atas kemungkinan merupakan faktor utama), tetapi pasar tetap mampu menyerap keseluruhan produksi, padahal karakteristik rantai produksi adalah “tidak pernah menyimpan sebagai stok” dengan demikian saat kasus tersebut terjadi, sebenarnya pasar untuk konsumen terakhir masih mampu menyerap produk lele ini dan harganyapun tidak ikut turun, sehingga yang mendapatkan keuntungan besar dengan “skema kejutan harga” ini adalah salah satu dari dua komponen dalam rantai produksi tergantung dari seberapa besar kekuatan ekonomi mereka dan kondisi persaingan usahanya.
Dalam hal ini tidak terlihat upaya pengawasan KKP terhadap tata niaga dan pembentukan harga, apakah penurunan harga memang disebabkan oleh interaksi normal karena perubahan permintaan dan penawaran atau disebabkan karena adanya praktik dagang yang tidak etis dengan tujuan untuk memaksimalkan keuntungan meskipun mengorbankan bagian terbesar dari pembudidaya. Kalau penyebabnya saja tidak pernah diteliti dan diinformasikan kepada publik, lantas apa mungkin jika dikatakan bahwa kasus ini sudah berhasil diterapi dan ditangani? Semua hal di atas merupakan pekerjaan rumah untuk Direktorat Jenderal P2HP yang harus dipecahkan bukan hanya melalui berbagai Forum Pertemuan bagi Pelaku Bisnis Perikanan, tetapi juga upaya untuk membentuk struktur pasar dengan persaingan yang optimal beserta mekanisme pengawasannya dan seperti kata sebagian ekonom, memproduksi itu mudah tetapi memasarkannya itulah yang susah.
Karena itu sudah sewajarnya penentuan target produksi bukan hanya domain Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya dengan pertimbangan potensi sumberdaya semata, tetapi akan lebih elok jika target produksi merupakan kesepakatan dengan Direktorat Jenderal P2HP dengan pertimbagan kemampuan memasarkannya.
Penutup Tulisan singkat ini hanya untuk sekedar mengingatkan bahwa roadmap peningkatan produksi apabila tidak dalam bentuk kemandirian ekonomi dan tidak pula dibarengi dengan pengenalan karakteristik mikroekonomi serta pengaturan tata niaga maka hasil akhirnya belum tentu kesejahteraan pembudidaya.
Bagaimana pendapat Anda? *)
Penulis adalah Sekretaris KORAL APS Korwil I
Ditulis dalam BUDIDAYA PERIKANAN, IPTEK
Komentar Terbaru